Kamis, 22 April 2021

Yang Terbaik Sejak Awal

CM dengan semua pemikirannya dan pengalamannya yang sebagai pendidik yang fokus ke perkembangan anak  secara utuh, yakin bahwa makanan terbaik bg akal budi adalah ide2 yang hidup. Dan itu dari buku : living book.
Akal budi sifatnya spiritual, jadi perlu asupan yg sifatnya spiritual jg dr buku.
Bukan sembarang buku tapi hanya buku-buku yang terbaik.

Seperti apa buku terbaik itu ? Bukankah banyak sekali buku anak-anak saat ini yang menarik di mata penuh warna dan segala hiburan mata lainnya.
Buku yang terbaik itu sebaiknya ditulis oleh yg punya passion/kecintaan besar pada topik itu, sehingga ketika membacanya ada atmosfir yang dirasakan oleh pembaca.
Living book (LB) bisa menyampaikan informasi tanpa menggurui.

Living book ini spektrumnya luas.. dengan seringnya membaca, kita bisa merasakan mana yang termasuk agak living book atau living book banget.. 😜

Ada 2 ciri khas untuk mengenali living book ini:
* Ditulis dengan naratif dan sastrawi
* Ada ide-ide hidup di dalamnya (ini bagian yang terpenting)

Bacaan yg seperti inilah yang bisa membuat kita berefleksi.

Jika sudah biasa dgn buku sastra akan mudah mengenali.
Yang khas dari buku sastrawi biasanya terasa dalam satu kalimat yang dibuat benar-benar dipikirkan, bunyinya berima, menarik, dan naratif (bercerita).

Buatku ini hal yang terasa "owh iya" untuk membedakan living book dengan cerita lainnya.
Cukup banyak buku cerita anak-anak, yang tampaknya mengandung nilai-nilai yang baik.. tapi memang poin sastrawinya hampir tidak ada.

Hal lain yg penting ketika membaca living book adalah membaca lambat, fungsinya untuk memahami ide yg terkandung di dalamnya.
Membaca bukan sekedar mendapat informasi, tp untuk memahami dan merelasikan.

Kita perlu menyediakan asupan bacaan berkualitas baik untuk anak-anak kita.. yang terbaik.
Kembali lagi jika dianalogikan dengan makanan, kalau kita lapar dan gak punya makanan sehat maka kita akan makan apapun yg bisa dimakan. 
Anak2 punya kebutuhan membaca, jadi pastikan tersedia buku baik atau anak akan sembarang membaca buku apapun itu.

Kl kita punya pondasi berpikir yg baik dgn living book akan bisa menangkap filosofi dalam bacaan.

Jadi tampaknya sangat penting mengenali living book ini supaya bisa membedakannya dari twaddle yang dangkal/garing atau juga abridged (rombakan).
Caranya tentu dengan kita sendiri membaca buku-buku itu.. merasakannya.. unsur-unsur yang didapat ketika membaca buku yang nantinya akan diberikan ke anak.

Anakpun jika sejak usia awal dibiasakan dengan living book, maka anak akan tau kualitas rasanya dibanding membaca buku twaddle ataupun buku yang semata-mata berisikan fakta.

Buku-buku fakta seperti ensiklopedia tidak otomatis ditolak karenanya, tapi itu bisa dijadikan referensi setelah ide masuk ke benak anak. Anak-anak akan mengeksplore banyak hal dari banyak sumber karena pada dasarnya pendidikan adalah ilmu merelasikan banyak hal.
Ibarat makanan, living books adalah makanan utama, jika sesekali ada makanan rekreatif/snack ya bolehlah. πŸ˜…

Ketika memahami ini hal ini aku mulai memeriksa bacaan free-read Ben dan Liv. Kebanyakan memang buku cerita, berisikan ide-ide juga sih sepertinya, tapi unsur sastrawi nya yang memang kurang terasa jika dibanding dengan living books.

Ini salah satu buku kesukaan Liv (4 tahun). Dia senang seri ini sejak 3 tahun, mungkin karena warnanya dan gambarnya ya.. minta dibaca berulang-ulang..
Ada jalan ceritanya, dan ada ide/pelajaran terkandung di dalamnya. Tapi kurang naratif dan rasanya tidak sastrawi sama sekali ya. πŸ˜…

Buku lainnya aku merasa agak-agak living juga.. haha.. tapi sastrawi nya ini yang aku belum terlalu dapat.

Memang buku-buku sastrawi itu indah dibaca, darinya anak-anak bisa belajar mengungkapkan keindahan dengan naratif.

Memilih bacaan ke anak juga kita perlu menyesuaikan dengan usianya. Di anak yang lebih kecil biasanya mereka suka buku yang ada ilustrasi gambar agak banyak.
Semakin anak besar dan terbiasa dengan bacaannya, maka perhatian ke gambar tidak lagi jadi yang utama.

Awal-awal aku membacakan Winnie The Pooh ke Ben, dia selalu mengkomentari gambarnya, menanyakan mana di gambar yang menunjukkan hal yang dibacakan. Sepertinya ini karena memang buku-bukunya sebelumnya selalu bergambar berwarna meski bukan komik. 
Lalu kujelaskan, buku ini lebih seru kalau abang dengar jalan ceritanya daripada cuma gambarnya saja.
Mulailah dia mencoba lebih banyak mendengar.

Tapi aku sempat meragukan keampuhan living book ini.. 😁
Saat membacakan pertama kali buku Beatrix Potter, seri Jemmima The Duck aku mengira kami akan menyukainya. Tapi Ben dan Liv tidak terlalu paham ceritanya karena ada banyak kata yang belum dikenal dan dugaanku mereka belum terbiasa dengan gaya bahasanya.. banyak makna terisiratnya. Otak harus berpikir mencernanya, tidak langsung bisa dipahami.
Ah iya.. ketika mencerna itu jadi berpikir memang ya.
Mungkin akupun belum terbiasa waktu itu.

Selanjutnya jika aku akan membacakan, aku akan membaca lebih dulu buku itu. Dan biasanya lebih mudah diterima anak-anak.

Karena Ben usianya jelang fase akademis, aku coba membacakan Paddle To The Sea. Dan seketika setelah selesai baca buku itu dia bilang itu buku kesukaannya. Dia semangat sekali menceritakan tentang anak dan perahu kayu buatannya, juga putihnya salju di hutan sekitar kabin dimana anak itu berada.

Jadi untuk mengenali sebuah buku living book atau tidak, kita sebagai orangtua perlu mencicipinya lebih dulu dan ketika membacakannya ke anak kitapun perlu menikmatinya, dengan bagitu anak akan lebih mudah untuk memahami.

Education is an atmosphere, a discipline, and a life.

Kita sebagai orangtua perlu membangun atmosfir belajar juga ke anak-anak dengan menikmati buku-buku yang kita sediakan bagi mereka, dan dalam prosesnya tidak boleh diabaikan tujuan kebiasaan apa yang ingin dilatihkan ke anak melalui bacaannya, dengan begitu ide yang ada dalak bacaannya bisa diterima dan berkembang dalam benak anak.

#narasi #refleksi #livingbooks #diskusisabtupagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar